Kamis, 21 April 2016

Faith

- "Kadang aku rindu pelukan tak bertuan untuk sekadar menenangkan, bahwa sesungguhnya aku masih memiliki satu orang saja yang masih bisa kupercaya." -

---

Terisak.
Sendirian.
Napasku makin sesak seiring aku coba untuk berhenti. Sulit. Memikirkannya barang sedikit dan tumpahan emosi itu seketika memuncak. Tersumbat.

Aku tidak mengerti kenapa semua ini hanya terjadi padaku.

"Kau bisa mengajak seseorang ke kamarmu karena alasan semudah itu? Kau ini bodoh, ya?"

Kau yang bodoh, bodoh!

"Kucing mana yang tidak mau ketika disodori ikan asin?"

Oh, sudah semurah itu ternyata nilaiku.

Ya, mungkin memang begitu.

Kutarik selimut hingga menutupi leher. Suhu ruangan tak bersahabat. Hujan dan pendingin yang tak dimatikan membuatku beku.

Pesan singkat itu tetap terpampang di layar ponsel. Sampai malam tadi, aku kira aku tidak akan menyesal.

Awalnya.

Semuanya tinggal lalu sekarang.

Beranjak dari tempat tidur, aku berusaha berjalan normal setelah semua kekasaran yang dilakukannya padaku. Aku mulai mengais helai demi helai pakaian yang tergeletak tak tentu arah di sekitar ruangan. Selimut tak bersalah ikut terseret bersamaku. Seketika semua menjadi begitu dingin.

"Terima kasih, ya. Jangan cari aku lagi."

Brengsek.

Sia-sia aku memacarinya setahun belakangan ini.

*

Cemooh sana-sini sudah dirasakan normal untukku. Wajar. Perut ini membesar tanpa terlihatnya sosok laki-laki. Apalagi kalau bukan wanita murahan?

Kulewati mual ini sendirian.
Sakit punggung hingga pinggang.
Pembekakan jari-jari.

"Perkiraan 2 minggu lagi, Bu."

Hingga masa-masa menuju hari perkiraan lahir bayi yang sedang kukandung.

"Jaga kesehatan."

Aku hanya mengangguk, kemudian permisi untuk berlalu.

Kubelai calon bayi yang akan segera lahir ini. Mengisyaratkan semua akan baik-baik saja.

Ya, semuanya akan baik-baik saja.

Percaya saja.

*

Hari ini tiba juga.

Prosesnya mematikan. Sakit. Amat sakit. Air mataku terus mengalir seiring dengan teriakan keputusasaanku sembari melahirkannya. Melahirkan apa yang pernah ditanam olehnya. Aku harus kuat. Aku harus tetap percaya bahwa semuanya akan baik.

Akan baik. Pasti.

Kita semua akan baik-baik saja.

Seketika semua tenang.

Sepersekian detik kemudian, tulang-tulang ini pun terasa patah, beriringan.

Teriakanku kini dihiasi teriakan putus asa lainnya.

Kenapa tangisanmu terdengar menyakitkan, Nak?

*

Mungkin aku memang bodoh.

Dia memang berkata begitu, dulu.

Sampai sekarang pun aku tetap bodoh. Aku tetap berharap. Aku tetap tak menampik kesia-siaan perasaan yang pernah tercurah untuknya. Aku mencintainya sepenuh asa. Aku terpuruk karena ketiadaan.

Tapi percayalah yang membuatku kuat hingga saat ini.

Percaya semuanya akan baik saja.

Aku tak pernah berpikir akan sejahat itu dirinya pada diriku yang bermaksud untuk mencintainya sepenuh hati. Yang pernah bermaksud untuk menjadikannya muara terakhir dari perasaan.

Tapi dia khianat. Dia tanamkan benihnya tanpa mau menyemai.

Namun aku berusaha percaya.

Tetap percaya.

Akan ada yang datang ke pelukanku. Menenangkanku dari guncangan ini. Akan ada yang datang mengikat tangannya lembut pada leherku dan menciumi bibirku perlahan.
Akan ada yang berusaha tetap menaikkan tawaku dan meredam tangisku dalam-dalam.

"Mama, kenapa nangis?"

Namun...

Haruskah itu tetap kamu?

Jumat, 11 September 2015

Jobseekers Juga Bisa Berpenghasilan! Psst, Modalnya Super Minim, Lho!

Sumber

Noted:
Tulisan ini sudah tersimpan dalam draft entah berapa bulan lamanya, jadi jangan heran kalau status tulisan ini kemudian bersifat past-tense. Enjoy!

Perlu digarisbawahi dan diperingatkan, ini bukan promosi MLM yang bakal menjerumuskan kamu untuk beli sejumlah paket, untuk kerja ringan gaji besar, untuk mengikuti prinsip member untuk member, nggak! Nggak sama sekali!

Blog post kali ini hanya serangkaian cerita di tengah-tengah perputaran hidup aku yang lain.

Setelah euforia wisuda dan kesenangannya, nggak ada senang-senang sama sekali. Wisuda cuma awal dari kehidupan yang sebenarnya, yang kejam, yang nggak ada belas kasih: dunia kerja.

Nggak, nggak gampang cari kerja. Kalau kamu pikir dengan kuliah di universitas negeri, tebar CV dan fotokopian ijazah sama transkrip, kamu bisa langsung diterima kerja dimanapun, Big NO! Ada ribuan jobseekers di luar sana yang mungkin setara, atau lebih tinggi status ijazahnya dari kamu, yang nilainya mungkin lebih besar dari kamu. Banyak! Tiap beberapa bulan sekali, masing-masing universitas besar, paling tidak meluluskan minimal seribu wisudawan/i, bisa dihitung sendiri berapa jumlah saingannya.

Contoh, saat wisuda ke-113 Universitas Sriwijaya yang aku ikuti, ada dua ribu lebih wisudawan/i yang diwisuda, sehingga dekanat mengubah agenda acara wisuda menjadi dua hari, dari yang semestinya cuma sehari. Itulah jumlah saingan, paling tidak se-Sumatera Selatan, paling tidak se-Palembang. Belum universitas swasta yang bertebaran di Palembang. Dan itu nyari kerja semua, lho. Kebayang sesaknya Palembang dengan jumlah pengangguran yang segitu banyak setiap bulannya?

Nggak perlu dijelasin se-Indonesia juga, kan? *kemudian mental break down*

Terhitung sudah dua bulan aku menjadi pengangguran job seeker, dan dua bulan itu juga aku stres, stres nggak ada kerjaan, stres nggak tahu mau ngapain, stres nggak enak sama orang rumah, tetangga, keluarga, dll, dsb, dkk. Aku tanya teman-teman yang masih dalam status yang sama, dan mereka pun merasakan hal yang sama. *hi-five virtual*

Tetapi, ada satu teman yang ternyata nggak kosong-kosong amat (dompetnya). Sebagai jobseekers yang mau minta jajan sama orang tua udah mulai nggak enak, kegiatan wirausaha yang digiati seorang teman dekat ini cukup menginspirasi. Dia cerita, dia dan adiknya bisa happy-happy sekaligus nabung hanya dengan menjual ilustrasi digital. Wow! Dengan nggak jual barang, bisa seneng-seneng plus nabung? Siapa yang nggak mau?

Kamis, 09 April 2015

Blogtour & Giveaway: Lara - Terombang-Ambing Antar Batas Tak Terlihat

Lara - A Dark Story of A Woman

Penulis: Sybill Affiat
Penerbit: Stiletto Book
Editor: Weka Swasti
Proofreader: Herlina P. Dewi
Cetakan 1, April 2015
ISBN: 978-602-7572-38-6

Blurp:

"L-a-r-a? tolong aku?!"

Tampilan layar komputer memunculkan sosok perempuan yang berwajah putih pucat. Rambut panjang kusut masai menutupi sebagian wajahnya yang semakin mendekat, hingga hanya tampak sepasang mata yang terus menatap dengan sorot dingin dan hampa. Lara menjerit sekencang-kencangnya dan menutup komputernya dengan sekali empasan.

*

Namaku Larashinta. Panggil aku Lara.

Aku benar-benar tak mampun lagi menyangkal perasaan aneh yang semakin berat menggelayuti hati dan pikiran. Aku merasa seperti mengambang dan tidak berada di dalam kehidupanku. Aku bahkan tidak bisa mengingat jadwal kuliah dan tugas-tugasku. Aku benar-benar terasing, seolah hidup sendirian di dunia ini. Aku tidak bisa bertemu dengan sahabat dan teman-temanku, aku juga tidak bisa mengobrol santai dengan Mbak Saras, kakakku.

Situasi ini membuatku frustasi. Rasanya bagaikan berjalan di atas bumi yang kehilangan daya gravitasi. Segala usaha yang aku lakukan untuk menjejakkan kaki di atas daratan terasa sia-sia. Apa yang sebenarnya terjadi padaku?
---

"Matahari bagai enggan membagikan sinarnya dan terus bersembunyi di balik gumpalan awan gelap. Lebatnya hujan sudah berakhir. Derasnya air mata telah mengering. Namun luka hati tak juga sembuh." - hal 25.

Lara merasakan keanehan dalam hidupnya.

Aneh. Ya, sangat aneh. Sepeninggalan sang ayah menghadap Pencipta, ibunya seakan tak peduli dengan Lara dan kakak perempuan satu-satunya. Pembicaraan hangat seperti yang dulu tak pernah lagi ada, tergantikan dengan kata-kata lewat kertas. Sampai akhirnya Mbak Saras memutuskan untuk melanjutkan studi di luar negeri pun, ibu mereka masih dingin. Tak acuh.

Pacarnya pun sama, bukannya saling mengisi dalam suka dan duka, Rayan malah mengacaukan semuanya. Ibu yang tak pernah setuju dengan keberadaan lelaki itu ternyata adalah suatu hal yang benar. Rayan menghalalkan segala cara untuk membeli obat-obatan, memberikan harapan palsu mengenai perubahan diri yang selalu dijanjikannya pada Lara. Lara bosan dengan janji, namun keberadaan lelaki itu dan mulut manisnya selalu membuat Lara merasa tidak bisa meninggalkan lelaki itu begitu saja.

Percakapannya dengan Mbak Saras kemudian merenggang. Lara pun tidak bisa menghubungi sahabat-sahabatnya. Ibu? Tidak pernah berubah, acuh.

Sampai akhirnya, Lara menyadari bahwa dimensi kehidupannya tengah terombang-ambil dalam 'ketiadaan batasan'.

Sabtu, 30 Agustus 2014

Review: Dance For Two by Tyas Effendi

Dance for Two
Penulis: Tyas Effendi (@tyaseffendi)
Penerbit: Gagasmedia (@Gagasmedia)
ISBN: 9797806723
Tebal: 238 halaman
Cetakan pertama, 2013
Blurp:

Dear Editor,
Saya terjebak dalam cerita yang saya mulai sendiri. Saya selalu membiarkanmu mengacaukan kata-kata yang sudah saya urutkan, membiarkanmu memenggal kepala huruf-huruf yang sudah berbaris rapi itu. Saya pun menikmti setiap cara yang saya lakukan untuk merangkainya kembali, lalu menyusunnya menjadi mozaik baru yang kamu suka.
Ini tentangmu, percayalah. Bagian mana dari dirimu yang tidak saya tahu? Tak ada satu celah pun yang terlewat; setiap potong kehidupanmu adalah gambaran paling jelas yang tersimpan dalam benak saya. Setiap langkahmu adalah jejak tanpa putus yang tercetak di atas peta saya.
Saya tidak ingin selamanya menjadi rahasia.
Saya hidupkan kamu dalam cerita.

Kamu bisa mengenang sebelum benar-benar melupakannya. (hal. 22)
Cerita cinta dengan latar dua tempat yang bermil-mil jauhnya, Kopenhagen dan Yogyakarta. Dikisahkan Caja Satyasa Hasan, perempuan naif yang memutuskan untuk menjadi a-long-time-secret-admirer-nya Albizia Falcataria, laki-laki dengan kamera yang namanya berasal dari nama latin pohon jeunjing. Al-nama kecil Albizia-tidak mengenal Satya. Namun bagian Al mana yang dapat laki-laki itu sembunyikan dari Satya?

Diawali dengan pertemuan di Danau Sortedams yang setengah beku di awal musim dingin. Pemandangan angsa yang tengah bergerumul menarik minat Al untuk mengarahkan lensa kameranya dan menekan tombol rana untuk mengabadikan pemandangan itu. Satya pun ada di sana, mengacaukan pemandangan indah yang diinginkan Al dengan menebarkan makanan sehingga formasi para angsa itu berantakan. Namun Al tidak kecil hati. Ia mendekat, menembus lapisan tipis danau beku itu, sampai akhirnya ia terjatuh. Lapisan danau tidak kuat menahan beban tubuhnya. Beku pun tak segan-segan menyerang tubuh Al, dan kamera kesayangannya.

Jaket wol Satya menjadi penyelamat sementara bagi Al. Janji untuk mengembalikan segera pun terucap. Namun sebagian memori Al seketika lenyap. Al tertabrak mobil. Kepalanya mengalami pendarahan.

Dan tahun pun berlalu. Al kembali ke Jakarta, meninggalkan Satya yang masih terus merahasiakan jejaknya.

Sabtu, 23 Agustus 2014

Review: Fantasy by Novellina A.

Fantasy
Love doesn't conquers all, faith does.

Penulis: Novellina A. (@novellinaapsari)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (@Gramedia)
ISBN: 9786020303550
Tebal: 312 halaman
Terbit: April 2014
Blurp:

Butuh tujuh tahun bagi Davina untuk memberanikan diri menginjak kota Tokyo, mengejar kembali apa yang telah hancur saat ia membiarkan Awang pergi mengejar impian. Perjalanan itu bukan semata untuk memenangkan kembali cintanya, namun ia membawa benih mimpi sahabatnya, Armitha: mimpi untuk berada di satu panggung kompetisi piano bersama Awang untuk membuktikan siapa yang terhebat di antara keduanya.

Fantasy berarti mimpi, imajinasi. Hingga sejauh apa Davina, Armitha dan Awang melalui jalan mimpi yang tak pernah mudah? Inilah saatnya cina, persahabatan, kesetiaan dan kepercayaan teruji. Dari Surabaya, Tokyo, Singapura, Paris, Berlin, hingga Wina, mereka berlari menyambut mimpi, mencoba membuktikan bahwa mimpi tidak terlalu jauh untuk digapai selama mereka selalu melangkah untuk meraihnya. 
"Kamu tahu kenapa persahabatan kita sangat berbeda dengan persahabatan orang lain? Karena Tuhan sudah menggariskan jalan hidup kita. Bahwa kita akan menyukai laki-laki yang sama. Laki-laki yang memasukki hidup kita secara bersamaan, dan Tuhan memberi kita hati yang besar, dan sedikit hormon, sehingga kita tidak akan pernah bertengkar memperebutkannya." (hal. 125)
Persahabatan perempuan dan laki-laki sesungguhnya sangat jarang yang pernah benar-benar terjalin seperti judulnya. Senyawa kimia yang tidak pernah bisa dijelaskan yang mengakibatkan sengatan listrik menyenangkan di kedua individu lawan jenis ini pun dirasakan oleh dua perempuan dan satu laki-laki yang menjali persahabatan sejak lama: Davina, Armitha dan Awang.

Davina adalah seorang perempuan yang selalu berpikiran positif dan tidak pernah sekalipun berpikiran negatif pada orang lain. Perempuan keturunan seperempat Belanda ini memiliki tinggi badan yang sedikit lebih menjulang dari teman-teman perempuan di kelasnya dan tidak mau disebut bule dengan perawakannya yang memang bule tersebut. Sedangkan Armitha, adalah sahabat perempuannya yang selalu berpikir untuk melindungi Davina dari orang yang berniat jahat karena sifat positif yang cenderung naif. Penyuka musik tapi tidak berminat untuk mendalami alat musik apapun, sampai akhirnya Awang, pangeran kedua perempuan tersebut, membius Mitha untuk mati-matian mempelajari piano. Alat musik itulah yang kemudian membawa Mitha dan Awang menuju sebuah janji, yang kemudian melibatkan Davina, dan kompleksitas rasa di dalamnya.

"Merantai kaki seseorang karena ketakutan kita bukanlah cinta, melainkan keegoisan." (hal. 126)

Davina dihadapkan oleh sesuatu yang meresahkan hatinya: Awang akan pergi, jauh. Ia dihadapkan oleh pilihan yang sulit. Setelah sebelumnya Vina dihantui rasa bersalah pada Mitha karena ia jatuh cinta pada Awang (yang disambut dengan perasaan yang sama oleh laki-laki itu), kali ini ia digeluti perasaan bersalah yang lain. Ia tidak ingin ditinggal pergi, namun ia tidak ingin menjadikan dirinya beban Awang sehingga laki-laki itu harus menarik mimpinya, hanya karena seorang Davina yang mungkin di masa depan tidak memberikan sesuatu sebanding dengan mimpi Awang yang selalu diidam-idamkannya, yaitu menjadi pianis handal.

Namun dengan berat hati, Davina melepaskannya. Ia mengalahkan keegoisannya sendiri.

Di sisi lain, Armitha juga menaruh perhatiannya pada Awang. Permainan piano yang membius itu berhasil membuatnya tergila-gila pada piano. Padahal sebelumnya, ia tidak pernah benar-benar terpengaruh pada alat-alat musik meskipun papanya adalah seniman musik besar. Mereka pun menjalani pendidikan bermusik milik pianis Indonesia berbakat, Valenntina. Karena satu sekolah, mereka pun memutuskan untuk tampil secara berpasangan di acara showcase. Dan pada akhirnya, mereka berjanji suatu saat nanti akan saling berkompetisi piano, apapun acaranya.

Awang kemudian pergi dan Vina tidak pernah membalas e-mail-nya barang satu kalipun. Namun hal itu tidak dilakukan Mitha. Dia selalu membalas e-mail Awang yang tengah menjalani kehidupan bermusiknya di luar negeri. Sampai akhirnya hal mengerikan itu terjadi. Tak ada lagi e-mail balasan yang bertengger di kotak masuk Awang.