Sabtu, 30 November 2013

The One That I'm Willing To Meet The Most

Taken from here.


Karena seseorang yang ingin selalu kutemui itu ya, kamu. Hanya kamu. Yang selalu berdiri di bawah rindangnya pohon besar yang aku tidak pernah tahu namanya hingga sekarang, walaupun sudah beberapa waktu lamanya aku tinggal di sini.

Hujan kadang menghalangiku untuk memandangi paras tampanmu dari sisi ini, di satu bilik khusus milikku. Kamarku, dengan jendela kecil yang buatku bisa mengakses pemandangan dirimu. Namun kini menuai jarak antara kita berdua.

Mungkin kamu tidak pernah melihatku, tapi, kedua manik mata ini selalu tertumbuk padamu, yang kini bagai menu sarapanku, makan siangku, makan malamku.

Aku, tak pernah tahu namamu. Dan tiada pentingnya buatmu juga untuk mengetahui namaku. Tak apa. Aku maklum. Tapi, kalau aku memanggilmu malaikat, tidak berlebihan, kan?

Seperti ini dayaku. Memandang rupamu dari kejauhan. Kadang sisi kanan wajahmu yang nampak. Tak jarang juga sisi kirimu yang sedang melihat ke arah yang tak bisa kulihat dari bilik ini. Tenang saja. Kau tetap tampan dengan keduanya. Tapi, aku tetap wajahmu secara keseluruhan.

Seperti sekarang ini, kau yang sedang menumbukkan pandangan padaku.

Kupikir kita satu. Ya, satu. Perlahan kita menjadi dua pribadi yang menurutku saling mengerti. Mungkin, karena sinyal yang berusaha kukirim terus menerus padamu? Hingga akhirnya kau bersedia mengalihkan pandanganmu ke sini?



Aku baru tahu ternyata tatapan langsungmu ini bisa lebih tajam daripada tatapan yang kau layangkan di berbagai sisi yang tidak mengarah padaku. Rambut yang sedikit tergerai di bagian keningmu kini melambai, angin mungkin bertiup di luar sana. Dan poni yang sedikit terangkat itu berhasil membuat matamu sedikit nampak lebih besar dari sebelumnya.

Ah, tampannya.

Kulit putihmu itu selalu saja kau sembunyikan di balik pakaian hitam milikmu yang sepertinya memang satu set itu. Jaket hitam, kaus hitam, dan celana hitam.

Tak apa, tetap tampan.

Namun, itu semua dapat kulihat dengan jelas jika saja langit tidak menangis lebih keras dari sebelum-sebelumnya.

Topan seperti melanda negeri ini. Derasnya angin membuat air-air yang berjatuhan nampak lebih liar menghantam benda yang berada di bawahnya.

Aku gelisah.

Bagai kelaparan, aku begitu menginginkan parasmu hadir di sana. Di bawah rindangnya pohon besar yang kini bergoyang hebat karena angin. Aku memaksakan diriku untuk melangkahkan kaki yang sudah tak lama digerakkan ini menuju jendela satu-satunya yang ada di bilikku. Berharap ada kamu di sana. Berharap ada tatapan tajammu lagi yang menghunus pandanganku. Berharap ada paras tampanmu yang membuat indah hari-hariku.

Aku, rindu.

Sialnya, langit tetap menangis. Pagi hingga pagi esoknya. Dan sepertinya akan terus begitu.

Aku, sangat rindu.

Kulit putih wajahmu yang selalu tersembunyi di balik satu set pakaian hitam itu.

Bolehkah aku terus merindu?

Rindu tak selamanya rindu. Perlahan rindu ini seperti mengalami metamorfosis. Aku, ingin menemuimu. Di balik keputusasaan ini, kuinginkan bertemu. Aku rindu. Sangat rindu. Tapi, hujan di bulan November ini terlalu menyebalkan. Dari pembaringan ini yang biasa kutempati ini, aku selalu bisa melihatmu, cukup dengan memiringkan wajah sedikit menuju jendela yang menjadi konektor mataku pada pemandangan rupamu. Cukup. Hanya itu.

Tapi November sepertinya memang begitu menyebalkan.

Hujan selalu lebat di setiap pergantian hari. Aku tahu di luar sana basah. Dan aku tahu orang mana yang sudi melangkahkan kakinya melewati jalan yang kini sudah mulai basah dengan air yang meninggi itu. Dan sepertinya kau juga sama tak sudinya dengan yang lain.

Kurapalkan doa pada Tuhan yang kuharap masih berkenan mendengarku. Sederhana saja. Aku ingin bertemu denganmu, melunaskan rindu ini, apapun caranya.

*

Tuhan mendengarku.

Ya, Dia mendengarku!

"Ka-kamu?" ucapku terbata.

"Halo," sapamu untuk pertama kali.

Aku berusaha mendudukkan diriku sendiri walau berat. Kamu membantuku perlahan. Degupan jantungku menyuarakan hal yang tak biasa. Desiran hangat mengalir setelahnya.

Terdengar suara hujan yang masih dengan keras seperti hari-hari biasanya. Tatapanku kualihkan bergantian padanya, lalu pada jendela satu-satunya dari bilik ini.

"Kan hujan. Kenapa kemari?" tanyaku.

"Aku memang harus menemuimu hari ini. Apapun caranya," jawabnya enteng.

Kamu ini, pembaca pikiran, ya? batinku.

"Kamu, rindu padaku, kan? Ingin bertemu, kan?" ucapnya lagi.

Aku melayangkan tatapan ngeri. "Kamu ini, pembaca pikiran, ya? Kenapa tahu aku begitu merindukanmu?" cecarku tanpa malu. Sudahlah.

"Tidak. Aku tidak bisa membaca pikiranmu. Tenang saja," sahutnya.

Aku mengernyit. Lalu, darimana semua ketepatan dugaan itu? Tak mungkin hanya sekadar dugaan.

"Kamu ini, siapa?" tanyaku ragu.

"Malaikat," jawabmu tak meragu.

"Hei, kenapa namamu sama persis dengan yang kupikirkan?" sergahku.

"Aku datang, untuk menjemputmu, menuju tempat yang terindah," potongnya tanpa menjawab pertanyaanku.

"Dimana, itu?" tanyaku.

"Tempat dimana sumber rindumu ini berasal. Itu bukan dariku. Itu dari, Atasanku. Cahaya dari-Nya yang diberikan padaku inilah yang membuatmu rindu. Bukan aku."

Aku, masih tidak mengerti.

*

Rudi baru saja kembali dari membawa perlengkapan istrinya yang harus dirawat setelah vonis tumor mematikan itu dilayangkan oleh dokter. Dengan segera ia melangkahkan kaki ke tempat yang seharusnya dituju.

"Sarah, aku bawakan bubur favoritmu."

Dan jawaban yang terdengar hanya suara bip panjang yang menyedihkan.

Di benaknya, ia hanya ingin mendengarkan seseorang mengatakan 'Anda salah kamar' padanya. Sekarang juga.

*

Diikutsertakan dalam #KisahNovember @KampusFiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar