Selasa, 31 Desember 2013

Present


Gift by Blatera on Deviantart

---

"Why do people give present? 'cause they entrust their feelings to a thing. 'cause feelings aren't visible to the eyes." -- Zakuro (Tokyo Mew Mew)

---

"How?"

"Apanya yang how?"

"Hadiahnya."

Gadis berambut panjang itu berusaha menyelipkan rambutnya yang kini dimainkan oleh angin yang berhembus di teras rumahnya. Menatap langit yang kini ramai akan bintang yang berkembang di langit. Yang tidak pernah dilihat selama hampir beberapa tahun ini.

Jangka waktu yang sama semenjak kepergian laki-laki itu.

"Dan dengan begini, kau tidak perlu lagi merasa kehilanganku. Karena kita akan selalu bersama, kan?"

Tapi gombalannya barusan tidak membuat bulan sabit berkembang di wajah gadis itu barang sedikit pun.

***

This (should be) a normal day, two days ago.

"Ketika yang begitu dirindukan adalah sesuatu yang begitu ingin dilupakan..."

"Tya...Anantya...bangun, Nak...."

Suara Ibu membangunkan Tya dari tidur singkatnya. Seluruh badannya terasa sakit karena tidur terlalu malam. Setelah meneguk air putih yang disediakan Ibu di sisi tempat tidurnya, ia menyeret langkah menuju ruang makan yang menguarkan aroma pengundang lapar. Seketika Tya meneguk ludah dan merasakan sesuatu yang bergetar dari arah perutnya.

"Pempek ya, Bu?"

Ibu Tya mengangguk pelan. Seketika itu juga, seakan lupa akan sesuatu, ia melanjutkannya dengan kata-kata. "Iya, Nak."

Ibu Tya menuntun gadis itu perlahan menuju kursinya. Setelah semuanya aman terkendali, beliau mulai menuangkan cuko*) ke mangkuk kecil di hadapan Tya, lalu menaruh garpu mini di genggaman tangan anak gadisnya itu.

"Yang isi telur di piring sebelah kanan. Pempek kulit di piring tengah. Pempek ada'an di paling kiri. Ibu ke belakang dulu, ya. Pempeknya masih panas, jadi tiup dulu sebelum dimakan, ya. Oh ya, mangkukmu persis di hadapanmu. Hati-hati."

Setelah memberikan arahan pada Tya, Ibu Tya tampak berlari kecil ke arah dapur, meninggalkan Tya sendiri di meja makan.

"Wong Plembang nian Ibu kito nih, pagi-pagi la makan pempek**)," sahut Nanda, adik laki-laki Tya begitu sampai di meja makan dan melihat ke arah piring yang berjejer di dekat kakak perempuannya.

"Tinggal makan aja kok susah, Nda," tukas Tya.

Nanda mengernyit, bukan karena celotehan kakaknya barusan, tetapi karena melihat tangan kanan berhiaskan garpu mini milik kakaknya itu tengah melayang-layang di udara tak tentu arah. Batinnya tersentak begitu mengetahui semuanya sudah berbeda.

"Kakak mau yang mana?" tanya Nanda.

"Pempek telur aja."

Nanda dengan sigap mengambil garpu mini yang tadi terselip di genggaman Tya dan menancapkan satu pempek telur, lalu kembali menyerahkannya pada Tya.

"Makasih. Sebenernya lebih enak kalau tangan aku langsung yang kamu tuntun, bukan garpunya," ujar Tya terkekeh. Setelah meraba letak mangkuk kecilnya, ia mencelupkan pempek itu perlahan.

Terbesit rasa ketidakrelaan dalam diri Nanda atas keadaan yang tengah meliputi angggota keluarganya. Padahal kakaknya masih muda dan cantik. Begitu banyak mimpi yang ingin digapainya. Begitu banyak yang masih bisa ia lakukan.

Kuliahnya pun nyaris selesai.

Mungkin sekarang Tya nampak biasa saja. Namun apa yang terlihat di luar siapa yang tahu. Manusia begitu penuh dengan topeng.

Mungkin di dalam, pecahan kaca hatinya sudah bertebaran di berbagai sudut.

Dan Nanda, masih mengharapkan seseorang itu dapat dengan segera menghiburnya. Seseorang dari masa lalu yang kini merantau demi mimpi. Seseorang yang selalu Nanda jadikan panutan.

Dan, seseorang yang selalu menjadi tempat Anantya berbagi keluh kesah, nyaris seumur hidupnya.

"Kak...," Nanda memulainya takut-takut.

"Apa?"

"Nggak kangen Kak Dimas?" lanjutnya, menyerupai bisikan.

"Apa? Jelas-jelas dong ngomongnya," sahut Tya setelah susah payah menelan pempeknya.

"Kak Dimas mau pulang katanya. Penerbangan paling pagi dari Papua. Dia baru bisa dapet cuti minggu ini," lanjut Nanda sembari mengambil mangkuk kecil dan menuangkan cairan cokelat kehitaman itu ke dalamnya.

"Dimas?"

Nanda mengangguk sekilas, "Iya."

"Dimas, siapa?"

Sungguh, beribu alasan sudah dikeluarkannya, dan nampaknya ia takkan sanggup lagi untuk menutupi hal ini dari calon kakak iparnya yang sebentar lagi akan datang kemari dan menjenguk kakaknya setelah baru mendapatkan waktu libur dari perusahaan tambang internasional tempatnya bekerja.

Nanda benar-benar berharap waktu bisa berjalan sangat lambat.

***

Our time, three years ago.

"Maaf, nunggu lama. Jauh, antriannya rame," sahut Dimas terburu-buru. Ia menyodorkan semangkuk kecil jasuke (jagung, susu, keju) pada Tya yang masih hangat dalam genggaman, beserta dua buah jagung bakar dan minuman dingin dalam dua kantung plastik hitam yang berbeda.

"Makasih," ucap Tya sebagai balasan. Ditatanya bungkusan itu di antara kursi penumpang dan pengemudi. Lelehan susu, mentega dan taburan keju dari jasuke ternyata dengan segera menggugah seleranya.

"Nggak apa-apa dari jauh gini?" tanya Dimas di sela-sela kesibukan barunya meniup hawa panas dari camilan baru mereka.

"Nggak apa-apa. Yang penting masih bisa lihat kembang api."

Parkir mobil di area BKB penuh sesak. Namun, masih ada keberuntungan yang akhirnya membawa mereka ke area parkir di sisi kiri Kantor Walikota Palembang, yang setidaknya masih dekat dengan venue tahun baru ibukota Sumatera Selatan ini.

Jam masih menunjukkan kurang lebih setengah jam lagi menuju pergantian tahun.

"Dimas."

"Hm?"

"Jadi, pergi?"

"Begitulah."

Tya menghela napas berat.

"Kenapa nggak ngelamar yang deket-deket aja, sih? PT Bukit Asam kan ada," erangnya manja. Ia benar-benar tidak rela harus sejauh itu dengan kekasihnya.

"Semenjak aku kuliah pertambangan, Freeport itu perusahaan impian, sayang. Perjuangannya nggak main-main, lho. Masa' kulepasin gitu aja?"

Perkataan Dimas ada benarnya. Saat itu juga, Tya merasa dirinya benar-benar perempuan yang tidak pengertian. Keberadaan laki-laki di sampingnya sudah terlalu lekat dalam kesehariannya.

"Sampai kapan?"

Dimas menggeleng, "Aku tidak tahu dan tidak bisa janji. Tapi akan kuusahakan untuk pulang jika memang bisa."

Dimas menutup pintu mobil yang sedaritadi terbuka dan menghidupkan mesin untuk sekadar menghidupkan pendingin.

Anantya kini tengah meragu. Janji Dimas tidak benar-benar pasti. Ia memang percaya bahwa memang kodrat perempuan sejatinya adalah menunggu. Tetapi ia tidak tahu bahwa akan menunggu di dalam ketidakpastian itu rasanya sekhawatir ini.

Karena Dimas selalu memberinya kepastian, sampai akhirnya waktu menyentuh saat ini dan mengubah semuanya.

"Kenapa?" tanya Dimas begitu melihat raut resah dari Tya.

"Aku, takut."

Bayang-bayang gelap perlahan memenuhi batin Tya. Jarak beratus-ratus kilometer, tempat kerjanya yang berbahaya menurut kabar burung, hingga ketakutan-ketakutan lainnya yang menggerogoti pikiran positifnya.

Dimas tampak memikirkan sesuatu.

"Apa yang membuatmu takut?" tanyanya lembut, sambil membiarkan tangan kanannya kini bergerak, menyelipkan rambut Tya yang tergerai pada daun telinga gadisnya itu.

"Ketidakpastian," jawab Tya mantap.

Tya menikmati tiap gesekan udara yang tercipta karena aksi Dimas barusan, yang akhirnya membiarkan kedua tangan mungil itu untuk menggenggam yang tengah menjulur padanya, menempelkannya di pipi tirus miliknya. Merasakan kehangatan yang menjalari sarafnya.

Seakan takut tidak akan pernah bertemu kembali.

"Semua di hidup ini adalah kehendak Tuhan, Masayu Anantya Putri. Ketidakpastian itu pasti adanya. Karena kita tidak benar-benar tahu apa kehendak-Nya." Dimas memainkan ibu jari pada tangan yang masih dipenjarakan oleh dua tangan mungil kekasihnya, membelai lembut pipi lawan bicaranya. "Kalau begitu, apa yang akan membuatmu setidaknya bisa tenang?"

Bola mata Tya kini mengarah ke daun palem di sisi kanannya yang bergerak lambat karena desau angin, seakan lamat memasang telinga pada perbincangan berat sejoli itu.

"Nikahi aku?" ucap Tya pada akhirnya, setelah perdebatan batin antara malu dan keegoisannya untuk tetap bersama Dimas.

Mata Dimas sedikit terbelalak, setelah akhirnya berhasil menguasai kekagetannya. Ia tersenyum kecil dan melepaskan genggaman tangan mereka. Lalu menggantinya dengan belaian lembut di puncak kepala Tya.

"Aku belum bisa kalau yang itu, Anantya sayang. Aku baru saja diberi jalan untuk mengumpulkan tabungan hidupku untuk diriku sendiri. Kalau itu, berarti aku harus menghidupimu dan membawa turut serta ke Papua. Mau makan apa kita nanti?" ujarnya tertawa kecil.

Tya menatap raut tertawa Dimas lekat-lekat. Ia cukup kecewa dengan respon Dimas yang seperti itu. Padahal butuh waktu untuk menenggelamkan rasa malu ketika mengucapkannya tadi.

Tawa kecil Dimas kini terhenti karena Tya sudah menunjukkan ketidaksukaannya.

Dimas kini menggigit bibir. Dilema kini menyelimutinya. Rencana jangka panjang yang sudah disusun sedemikian rupa, agaknya harus ada yang sedikit mengalami perombakan.

"Eng, tapi...." Suara tercekat Dimas memaksa Tya harus menatap Dimas kembali. "Kalau tunangan dulu, gimana?" lanjutnya malu-malu.

Tya membekap mulutnya tak percaya.

Setidaknya, ia tidak perlu khawatir dengan bayangan negatif lainnya yang sedaritadi ia pikirkan: Dimas dengan wanita lain.

Setidaknya, ada hal yang bisa membuatnya yakin ketika ia meragu nantinya.

"Dimas! Kita kelewatan kembang api!" teriak Tya histeris. Sepertinya tahun ini mereka harus puas dengan kembang api kecil yang baru saja berkembang dan menyudahi riuh rendah para penonton dari arah pusat acara.

***





How regret comes at the end of our way, within two days (ago)...

Suara ketukan datang dari arah pintu depan. Nanda yang sedaritadi menonton tivi tanpa minat, terlanjur gelisah, segera menghamburkan diri ke arah pintu tanpa mengindahkan lagi pertanyaan Ibunya yang tengah penasaran dengan tingkah Nanda yang tampak aneh.

Namun, sesampainya di depan pintu, gerakan tangan Nanda terhenti di udara, persis lima sentimeter dari bagian atas kenop pintu bewarna emas kekuningan itu.

"Kenapa nggak dibuka, Nda?" Suara Ibu membahana dari balik punggung Nanda, yang sudah pasti terdengar dari sisi luar pintu. Dengan hati yang berat, Nanda menekan kenop dan membuka pintu kayu, menghadapkannya pada wajah laki-laki calon kakak ipar yang tengah terengah. Tidak seperti kebiasaannya yang selalu rapi, Dimas tampak berantakan. Kemeja yang dikenakannya tampak kusut dan tidak terselip dengan baik di balik celana jeans-nya.

Dimas mencium tangan Ibu Tya dan Nanda begitu mata mereka bertemu pandang.

"Bu..." Dimas memulai pembicaraan. "Dimas minta maaf," lanjutnya dengan suara bergetar.

Ibu kemudian memeluk Dimas dan menepuk-nepuk punggungnya. "Sudahlah, Dimas. Semua orang juga tahu kalau pegawai Freeport itu pasti sibuk dan susah pulang. Kamu mau dateng aja Ibu sudah bersyukur. Nggak ada yang tahu, Nak, kapan Tuhan nurunin musibah ke kita. Yuk, masuk dulu."

Nanda diam-diam mengucap syukur punya Ibu yang pengertian seperti Ibunya. Keadaan Dimas terlihat begitu kacau di matanya. Bukan saat yang tepat untuk perang kata.

Karena, Nanda cukup tahu betapa sedihnya Ibu ketika melihat kakak tertuanya itu kecelakaan di bawah pengaruh ketiadaan kabar sebulan penuh dari lelaki ini.

"Nanda, bantu bawa bawaan Dimas, gih," titah Ibu.

Dengan sigap, Nanda meraih koper kecil yang terlepas dari genggaman Dimas ketika Ibu memeluknya.

"Ah, nggak usah, Nda. Biar kakak bawa -- "

"Nggak apa-apa, Kak. Duduk aja."

Dimas yang merasa tidak enak, terpaksa harus patuh dan duduk di sofa terdekat.

Ibu akhirnya pamit untuk membuatkan minuman, yang lagi-lagi sempat ditolak oleh Dimas dan dibalas tolak lagi oleh Ibu. Tersisalah Nanda yang menemani.

"Anantya, sehat?" tanya Dimas berbasa-basi. Selarik kemudian ia benar-benar menyesal dalam hati telah menanyakan hal itu.

"Begitulah, Kak," jawab Nanda.

"Nggak bisa disembuhin, ya?

"Bisa, sih. Tapi bank mata di Palembang lagi kesulitan donor, Kak. Mereka bilang mesti nunggu beberapa bulan karena stok donornya nggak ada. Mesti nunggu diimpor gitu katanya," papar Nanda jujur, berdasarkan apa yang didengarnya begitu mengantar Ibu ke bagian mata rumah sakit umum.

"Berapa lama?"

Nanda menggeleng, disambut dengan desahan napas Dimas yang berat.

Nanda tenggelam dalam kebingungan terbesarnya kini. Ia tidak tahu apakah harus membiarkan hal itu sampai akhirnya Dimas mengetahuinya sendiri, atau memberitahunya dalam jangka waktu yang begitu sempit. Cepat atau lambat, Dimas pasti akan mengetahui hal menyakitkan lainnya selain kehilangan indra penglihatan yang kini dialami kakak perempuannya.

Ibu datang dengan dua gelas minuman dingin.

Dan bersama dengan pilihan pertama Nanda yang bahkan belum sempat ia pilih.

"Mau bawa Tya kemana, Bu?" tanya Tya yang kini mengekor pada Ibu dengan melingkarkan lengannya pada lengan Ibu.

"Ada tamu buat kamu."

Setelah menyodorkan nampan minuman pada Nanda, Ibu menuntun Tya untuk duduk di sebelah Dimas.

"Siapa, Bu?"

"Halo, Tya."

Suara berat Dimas berhasil mengalihkan pandangan Tya ke arah sumber suara, Dimas Dwi Nugraha.

Kekasihnya.

Tunangannya.

Yang (dulu) selalu berada di sisinya, meskipun hanya lewat sambungan jarak jauh.

Yang satu bulan lalu menghilang tanpa kabar.

"Apa kabar?" tanyanya lagi. Suaranya bergetar tertahan.

Tya tampak kebingungan. Dahi berkerut, menjadikan kedua alis hitamnya bertaut.

"Ini siapa, Bu?"

Nanda dan Ibu lalu menggigit bibir dan memejamkan mata bersamaan. Seperti ingin turut merasakan kepedihan yang Dimas rasakan.

"Ini, kejutan? Atau, gimana?" Dimas kehilangan kata-kata. Ia menoleh pada Nanda dan Ibu yang kini saling memalingkan muka, menutup rapat mulut mereka dan memendam fakta dalam-dalam.

"Bu? Ibu kemana? Bu? Aku takut, Bu. Di depanku siapa, Bu?" Tya kini meraba sofa panjang tempatnya duduk bersama Dimas, panik. Gelap yang menguasainya menambah efek samping ketakutannya terhadap sesuatu yang tidak ia ketahui, menaikkan levelnya hingga ke level siaga.

"Maaf, Kak," bisik Nanda takut-takut. "Kak Tya, lupa ingatan."

***

Where were you, in a month? When I was missing you like crazy?

"Isi blog-mu akhir-akhir ini kayaknya galau melulu, Ya. Entah flashfiction, cerpen, sampe puisi."

Tya yang sedang asyik mengaduk minumannya di salah satu meja di pojokan restoran di area Kambang Iwak tersentak. "Ha? Iya apa?"

Teman-teman satu komunitas nulis di Palembang kini mencecarinya dengan berbagai pertanyaan. Tya menanggapinya tanpa minat, cenderung ngeles. Ia memutuskan untuk mengikuti meeting kali ini dengan harapan dapat membawanya ke hal-hal lain selain orang itu. Laki-laki yang sudah satu bulan ini tidak pernah menghubunginya lagi.

Entah kenapa sebabnya.

"Udah, dooong, please. Kita ke sini kan tujuannya mau ngomongin project nulis yang baru aja selesai deadline-nya. Bukan ngegosipin aku," ujarnya dengan nada bercanda dan sedikit memaksa.

"Galaunya nggak mau dibagi-bagi nih, Buuu?" ejek salah satu teman perempuan komunitasnya.

"Kalau bisa dibagi udah kusumbangin deh!"

Tawa membahana kini memenuhi lingkaran itu. Di sela-sela tawa, mata Tya masih iseng mengarahkan ke ponsel. Berharap ada notifikasi pesan, atau missed call, atau notifikasi socmed, atau apa pun itu!

Selama itu masih mengandung nama Dimas Dwi Nugraha dan pengabarannya. Hanya itu.

***

Hari ini adalah tepat satu bulan semenjak hari-hari tanpa pengabarannya.

Begitu banyak media yang ia coba. Sms, telepon, messenger dari tiga platform, hingga fasilitas chat lainnya milik si lelaki yang terdaftar di ponselnya.

Nihil.

Jam yang seharusnya belum saatnya untuk disentuh kegelapan, tampak menuju pekat dengan cepat. Setelah pembubaran, awan hujan datang dan menyelimuti langit Palembang. Menjadikan yang di bawahnya kini kucar-kacir mencari perlindungan.

Tya, yang sedang sial karena tidak membawa payung seperti yang biasa ia lakukan ketika bepergian, terpaksa menunggu di teras kafe. Berharap setidaknya, hujan bersembunyi barang sedikit saja, untuk sekadar mengizinkannya menuju halte Trans Musi yang tepat berada di seberangnya.

Tapi sepertinya awan hitam sedang overload malam ini.

Kalau saja, Dimas di sini.

Terbesit pengharapan dalam benaknya. Hujan membuatnya benar-benar tak berdaya. Sesaat kemudian ia menyesal tidak menerima ajakan pulang oleh teman satu komunitasnya.

Jangan nebeng cowok lain, ya.

Aish, perintah yang selalu terpatri di hatinya itu kini membawa kerugian sendiri baginya.

Jam tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Jam-jam krisis dimana Trans Musi bisa-bisa tidak lewat sama sekali.

Dan ia terlalu takut untuk menggunakan angkutan umum lain.

Langkahnya maju mundur. Namun hujan deras seakan tak mau berhenti gugur. Batinnya berdebat antara pulang dengan cara nekat atau menunggu yang tak pasti.

Dan setelah pilihan pertama memiliki lebih banyak suara dan menerjang hujan yang hampir mirip badai itu, ketakutan Tya akan angkutan umum yang selalu ugal-ugalan itu makin menjadi.

Ia tertabrak salah satunya, lalu tak sadarkan diri.

***

You never let me know, won't you? Then I'll do the same,

in these two days (ago)...

"Nanda," panggil Dimas dengan amarah tertahan. "Kenapa nggak ngasih tahu Kakak?"

Nanda takut-takut, ia menjauhkan pandangannya sebisa mungkin dari tatapan Dimas yang sedang menggali informasi darinya. Tinggallah mereka berdua di ruang tamu, sementara Ibu mengungsikan Tya ke dalam kamarnya.

"Aku, takut, Kak," jawab remaja kelas dua SMA itu pada akhirnya.

Dimas menghela napas berat. Ditopangnya kepala yang masih penuh dengan ketidakngertiannya pada keadaan dengan tangan kanan.

Dimas mencoba mengontrol diri. Berusaha untuk tetap berpikir panjang. Seperti dirinya di keadaan biasa.

"Dari kecelakaan, langsung begitu?"

Nanda mengangguk. "Pas aku selesai ngabarin kakak, aku kasih tahu Ibu kalau aku sudah menghubungi kakak soal Kak Tya. Dan pas Kak Tya sadar, aku juga ngasih tahu dia kalau kakak bakal jenguk."

Nanda meneguk ludah sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Dan dia, nggak kenal kakak, sama sekali."

"Pemeriksaan dokter gimana?"

"Diagnosa amnesia parsial, Kak."

Dimas memijat keningnya lagi.

Dan detik ini juga, ia menyesal telah merencanakan kejutan yang jangka waktunya terlampau panjang.

Perempuan, memang tak benar-benar dibuat untuk menunggu. Apalagi ketidakpastian. Walaupun semuanya sudah diusahakan agar tetap pasti, untuk sekadar menenangkan hati.

Dan Dimas (masih) menyesal.

***

Tya kini terduduk di sisi tempat tidurnya. Tercenung dengan semua kejadian yang tak sampai lima menit itu.

Pertemuan yang terlampau singkat, yang begitu diidamkannya setelah sekian lama.

"Anantya."

Suara Ibu terdengar dari balik pintu.

"Ada apa, Bu?"

Terdengar suara bisik-bisik dari balik pintu.

"Dimas mau bicara denganmu."

Napas Tya sedikit tercekat. "Dimas siapa, Bu? Aku merasa tidak mengenal laki-laki manapun yang bernama Dimas."

Bisik-bisik terdengar lagi dari balik pintu.

"Anantya."

Kali ini suara bass yang berbicara. Dimas.

"Maaf, baru sempat menemuimu."

Setelah Ibu dan Nanda menyingkir secara sukarela dari tempat mereka kini, Dimas menarik napas dalam-dalam. Hendak melanjutkan kalimatnya.

"Aku, maaf. Aku, tidak tahu bahwa satu bulan itu adalah jangka waktu yang cukup untuk membuatmu seperti ini. Pada awalnya, aku, tak berniat untuk melakukan apapun. Sungguh. Aku, aku...."

Tya baru sadar bahwa napasnya tertahan, ketika menunggu lanjutan tiap kata yang terlontar dari seberang pintu itu.

"Mungkin kau tak menerima alasan. Aku, minta maaf, Tya. Aku benar-benar minta maaf. Aku, benar-benar tak bermaksud, untuk...aku...."

Kini air mata tak sanggup lagi ia tahan, setegar apapun laki-laki ini.

"Maaf, Tya...aku...aku...tidak tahu...sebenci itukah kau padaku...sampai membuatmu melupakanku?"

Tya membisu dalam keremangan kamarnya.

"Maaf, Tya. Maaf...maaf...maaf...."

Dimas kini terduduk di atas lututnya, dalam isak tangis yang tertahan.

Tya hanya menggigit bibir, menyengkram spreinya kuat-kuat. Menahan keinginannya untuk menuju pintu itu dan memberitahu semuanya.

Semua kebohongannya tentang 'melupakan'.

***

Mama Dimas tersentak begitu mengetahui kepulangan putranya yang mendadak itu.

"Dimas?! Kapan kamu pulang?! Kenapa nggak bilang?" tanya Mama histeris.

Dimas memeluk Mamanya sekejap.

"Dimas mau pinjem mobil, Ma," ucap Dimas sebagai salam pertamanya.

"Lho? Nggak mau makan dulu, Nak? Udah lewat makan siang, lho," sahut beliau Raut wajah Mama Dimas tampak khawatir.

"Nggak usah. Nanti Dimas makan kalau semuanya udah kelar aja," jawabnya mantap. Ia tidak ingin membuat gadis yang kini dirundung kegelapan itu makin menunggu lama.

Dan ia sudah menyiapkan diri untuk tidak menyerah sedikitpun, walau nantinya sudah diprediksi datangnya penolakan.

"Mau ngapain emangnya?"

"Mau ngeresmiin calon menantu Mama."

Seketika, setelah mengambil kunci mobil yang masih tergantung di tempat biasa yang tak pernah berubah semenjak kepergiannya, ia melesat ke arah garasi.

Ia takkan membuatnya menunggu lagi.

***

You've gone again, leaving all the excuses.

A week after our first (short) meet up.

Entahlah.

Ia tidak tahu harus menyesal, atau malah senang karena peran 'lupa' yang dijalaninya ternyata sangat cocok untuknya.

Dimas tak kembali lagi setelah pertemuan singkat mereka yang dibatasi ruang.

Entahlah.

Apakah Dimas sudah benar-benar membuangnya karena tahu ia cacat, atau memang tidak ingin berurusan lagi dengan gadis yang kini merangkap sebagai aktris pendatang baru, di dunia nyatanya sendiri?

Entahlah.

Tya tidak tahu.

Ketidakpastian lainnya kini menyelimuti Tya. Ia tahu betul akan Dimas.

Dia tidak akan semudah itu mengkhianatinya, kan?

Atau setidaknya begitulah harapan Tya.

Sisi devil-nya merajalela. Mengingatkannya akan satu hal:

"Dimas tak lagi sama. Bergelimangan harta sebagai pegawai perusahaan internasional menjadikannya buta. Perempuan cantik dan sempurna mana yang tidak terpesona olehnya, jika ia sudah begitu?"

Meskipu menyakitkan, Tya mengamini itu. Menjadikannya pedoman, dan memutuskan untuk menyongsong hari yang baru, tanpanya.

Dalam renungannya di hadapan angin yang kini menderu halus menyapu teras belakang rumah, langkah seseorang seperti menghampirinya.

"Kak, donor matanya udah ada. Kapan mau operasi? Dokternya udah nanyain."

"Secepatnya, Nda. Secepatnya," jawab Tya mantap. Seakan siap menanti lembaran baru.

***

Here we are now.


"How?"

"Apanya yang how?"

"Hadiahnya," Nanda kaget begitu kakak perempuannya malah membalas ucapannya. "Dengerin dan nggak pake komentar, Kak."

Gadis berambut panjang itu berusaha menyelipkan rambutnya yang kini dimainkan oleh angin yang berhembus di teras rumahnya. Menatap langit yang kini ramai akan bintang yang berkembang di langit. Yang tidak pernah dilihat selama hampir beberapa tahun ini.

Jangka waktu yang sama semenjak kepergian laki-laki itu.

"Dan dengan begini, kau tidak perlu lagi merasa kehilanganku. Karena kita akan selalu bersama, kan?" Nanda terus membaca surat yang di sampaikan pihak bagian mata di rumah sakit seiring dengan dokumen donornya.

Tapi gombalannya barusan tidak membuat bulan sabit berkembang di wajah gadis itu barang sedikit pun.

---

"Aku menulis ini di antara tanda-tanda yang membuatku begitu yakin bahwa keberadaanku tidak akan lama lagi. Tanda-tanda kebesaran Tuhan yang hanya milik-Nya. Maaf. Dan entah tiupan angin pengabaran Tuhan yang seperti apa yang membuatku seperti ini. Begitu aku merasa sehat dari kecelakaan yang cukup menimbulkan kengerian bagi kendaraan di sekitarku itu, aku merasa aku perlu melakukan sesuatu untukmu. Sesuatu yang lain dari yang lain."

"Aku minta maaf, Anantya. Atas segalanya. Aku, hanya bermaksud untuk memberimu kejutan. Aku mendapatkan idenya dari teman kerjaku di sini. Dan dia laki-laki yang sudah beristri. Aku meminta sarannya agar momen kita bisa indah dan bisa diingat. Yang tak kusangka akan memakan waktu hingga sebulan persiapan. Persiapan tanpa sedikitpun kamu tahu."

"Tapi nyatanya apa? Aku egois. Padahal pasangan seharusnya ditakdirkan untuk berdua, merencanakan sesuatunya berdua, dan melalui juga berdua. Bersama. Tapi aku malah menyalahi takdir itu."

"Mungkin ini hukuman Tuhan padaku. Akan keegoisanku."

"Sebagai ganti semuanya yang kurasa takkan pernah terjadi ini, terbesit ide lain, yang setidaknya membiarkan kita untuk terus bersama. Walaupun nantinya aku harus berlalu lebih dulu darimu."

"Dan jika kamu sudah menerima surat ini, selamat, kamu sudah menerima hadiahku, yang tidak seberapa ini."

"Maafkan aku. Begitu banyak perasaan yang membuncah begitu menulis ini. Tapi, aku benar-benar berharap yang tak seberapa ini bisa mewakili perasaanku. Karena aku sudah tak bisa apa-apa lagi."

"Masih sudikah dirimu, untuk menjalani hidup bersamaku, yang tanpa apa-apa ini?"

"Haha, hanya bercanda."

"Semoga kamu bisa mencari kebahagiaanmu. Ini hanya sedikit cahaya lilin dariku. Ketika sudah menemukan pendamping, cahaya kalian yang menyatu akan selalu menerangi jalan kalian."

"Semoga bahagia."

"Maaf, dan terima kasih. Sudah pernah menjadi memoriku, sampai akhir."

---

Tanggal yang tertulis yang bermakna satu minggu yang lalu itu kini luntur begitu selesai dibacakan oleh Nanda yang menangis dengan deras.

Dan Anantya yang hanya terduduk lemas dan berteriak histeris.

***

The fact that she didn't know.

A week and two days ago...


Hanya suara roda-roda besi dan tiang yang saling bergerak yang kini mengiringi isak tangis keluarga Dimas. Wajahnya begitu pucat, napasnya berlari cepat, tangan kanannya tampak memegangi perut bagian kiri yang kini menegang.

Seorang perawat langsung memeriksa tekanan nadi Dimas begitu sampai di salah satu bilik UGD.

"Pendarahan dalam. Apa dia mengalami kecelakaan? Sejak kapan, Bu?" tanya dokter jaga terburu-buru pada orang yang kini mengelilingi Dimas.

"Saya, tidak tahu, Dok." Kalimat Mama Dimas terhenti oleh isak tangis. "Saya, hanya menemukan ini di meja di kamarnya," lanjutnya lagi sambil menunjukkan surat rujukan dari dokter jaga UGD poliklinik, tertanggal dua hari yang lalu.

Dokter jaga memegang kendali. Diagnosa pecahnya limpa Dimas masih misteri. Tapi bercak memar yang begitu menghitam cukup menjelaskan seberapa kuat benturan yang dialaminya, dua hari sebelum hari ini.

Prosedur kedokteran sudah dilakukan semampunya. Namun para penyambung tangan Tuhan itu tetaplah manusia biasa.

Pandangan Dimas mengabur.

Sampai akhirnya, waktu Dimas berakhir detik ini.

***

I really don't know how to say goodbye.

I mean, a real goodbye.

Apa yang harus kuucapkan pertama kali?

Suara batin Tya bergejolak. Rasa bersalah begitu memenuhi rongga dadanya.

"Aku, nggak tahu harus ngomong apa."

Ibunya hanya mengelus punggung putrinya pelan.

"Mulailah dengan kata-kata yang ingin kamu ucapkan," tutur Ibu.

Setelah menyiram gundukkan tanah itu dengan air, helaan napas terdengar dari bibir Tya.

"Halo, Dimas. Maaf atas kebohonganku, dan, terima kasih atas hadiahnya."

Atau, setidaknya, itu lah yang berada di ujung lidahnya, sebelum akhirnya ia menangis, dalam rasa bersalah yang amat sangat.

***

Kompetisi #NulisKilat Plopoint dan Bentang
*) Cuko: Cairan cokelat tua teman makan pempek
**) Orang Palembang beneran deh si Ibu ini, pagi-pagi udah makan pempek

4 komentar:

  1. Put, bagus. :")

    Itu si Dimas limpanya pecah karena kecelakaan, bukan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Serius, Sep? Aku malah ngerasa ini aneh. :")

      Iya limpa pecah karena kecelakaan. Berhubung mepet DL, belum sempet ditulis dan seadanya aja. :")

      Hapus
  2. Aku suka konfliknya, apalagi pas tahu kalau Tya dalam peran kepura-puraan. Harusnya sisi dramatisnya bisa lebih dieksplor di bagian itu.
    Untuk ending, aku bingung kenapa si Dimas bisa kecelakaan dan tiba-tiba donor mata. Malah jadi kepikiran scenes di film "Heart" hahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heart itu donor hati, kan? Njeh, inilah hasil nulis dengan DL mepet. Harap maklum. ._.

      Hapus