Sabtu, 28 Juni 2014

Cerpen: Day 1, Day 2, Day 3, Day of Regret

Credit to the owner.

Mereka tidak akan pernah benar-benar mengerti rasa penyesalan setelah merasa kehilangan...

*

Day 1

Pintu terbuka.

Tak pernah sedetik apapun pandangan ini teralih. Debu tak turut menggoyahkan. Posisi ini sudah kekal, susah bergeser barang sederajat. 

Pemandangan monoton semalaman itu kini tak lagi sama.

Kamu melangkah maju. Langkah kakimu senada dengan degup jantung ini.

"Baiklah...."

Kini kamu menangkup diri ini erat.

"Mau kemana kita hari ini?"

Kemana saja, asal denganmu.

Kamu tersenyum, lalu membimbing tangan ini untuk dilingkarkan padamu.

Hangat.

Menyenangkan.

*

Day 2

Sayup-sayup suara di balik pemandangan monoton yang sudah cukup terpatri tiap sudutnya dalam ingatan itu terdengar hingga sisi ini. Bunyinya terdengar seperti pertanda baik. Seperti. Sayup-sayup masih gamang memberikan kepastiannya. Frekuensi desibelnya masih samar.

Dan lagi, pintu itu terbuka, dengan kamu sebagai hadiahnya.

Degup ini kembali sama dengan langkah kakimu yang kian mendekat. Kali ini rautmu jengah.

Kamu hendak pergi. Lagi. Sama seperti sebelum. Kamu turut membawa serta diri ini.

Perlahan, resah menggerogoti.

Angin membelai seiring deru bising yang membelah aspal berhias sinar terik mentari.

Asing.

Kamu tidak menarik tangan ini lagi. Mengelilingi bagian dari dirimu. Melindungimu sepenuhnya.

Kamu, sudah bosan berbagi hangat?

Sudah tak acuh pada perasaan menyenangkan?

*

Day 3

Pengharapan tak sepenuhnya bertemu titik pengabulan.

Doa seiring nyanyian malam para makhluk terbang pengisap darah tak rupanya berbuah manis.

Tak sepenuhnya.

Kamu terlihat biasa. Senyummu biasa. Rautmu tiada jengah.

"Hari ini, nggak usah, ya?"

Pemberontakan tak pernah terdengar.

"Deket, sih. Adem juga."

Kamu pergi. Membelah terik mentari yang tampak malu-malu siang ini.

Sendiri.

Tinggallah diri ini mengucap rindu yang diharapkan bertemu ujung.

Semoga saja tak lama datangnya.

*

Day of Regret

Pintu kayu kali ini terbuka. Wanita tua yang selalu menghempas debu dengan sapu membiarkannya begitu. Suaramu kali ini berupa sahut. Jelas.

"Aku pergi dulu."

Sopan, permisimu dilayangkan pada wanita yang tengah menunaikan tugasnya sehari-hari. Kamu mendekat seperti biasa. Degup ini berlangsung makin cepat. Semuanya tak pasti. Kebiasaanmu tak lagi sama.

"Nggak dulu, deh. Deket soalnya."

Dibiarkan teronggok di salah satu sudut lemari, tatapan nanar terluncurkan begitu kamu pergi membelah jalan sendirian. Doa terluncur padamu berharap tak akan ada hal. Lalu, kesedihan bisu memenuhi relung hampa. Hilang.

.
.
.

"Bu Jihan! Bu Jihan! Rafa, Rafa, kecelakaan motor! Ditabrak lari di depan lorong! Pelipisnya robek!"

Ribut-ribut suara menyebut seberkas namamu, tidak terdengar menyenangkan.

Sama sekali.

2 komentar: